Home » » Fenomena Social Networking

Fenomena Social Networking

Jakarta - Penjualan saham Facebook di Wall Street memecahkan sejumlah rekor. Dengan valuasi sekitar USD 104 miliar, langsung mendudukkan perusahaan social networking yang baru berumur 8 tahun itu di urutan 25 perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar berdasarkan S&P 500.

Selain itu, jumlah uang cash yang berhasil dikumpulkan, USD 16 miliar, juga memecahkan rekor initial public offering (IPO) terbesar setelah bertahun-tahun dipegang oleh 'seniornya', siapa lagi kalau bukan Google.

Aksi korporasi Facebook ini tentu saja menjadi satu tonggak sejarah yang dengan tegas menunjukkan bahwa "Social Business" juga merupakan "Serious Business".

Namun dibandingkan "Giga IPO" yang memang sudah dinanti-nanti banyak pihak, terutama para investor awalnya, ada satu lagi aksi korporasi yang lebih menarik untuk dibahas, yaitu saat Mark Zuckerberg mengumumkan bahwa Facebook mengakuisisi Instagram senilai USD 1 miliar.

Akuisisi ini cukup mengejutkan karena hingga saat ini Instagram belum memiliki pemasukan, bahkan juga belum ada skema monetisasi yang jelas. Jika ditelaah lebih jauh, Instagram merupakan jejaring sosial tempat berbagi foto yang awalnya hanya tersedia untuk para pengguna iPhone.

Namun belakangan Instagram juga telah merilis versi Android, yang tentu saja akan memperluas cakupan penggunanya, mengingat jumlah pengguna mobile device berbasis 'robot hijau' itu jauh lebih banyak dari pengguna iPhone.

Walaupun belum terlihat jelas seperti apa bentuk integrasi aplikasi Instagram ke dalam layanan Facebook, tapi akuisisi ini merupakan langkah strategis untuk menancapkan kuku lebih di area mobile.

Bukan Hanya Facebook

Langkah serupa tapi tak sama juga dilakukan oleh raksasa IT lainnya, yaitu Apple. Selama ini Apple dikenal sebagai produsen gadget mobile nomor wahid, dengan iPad dan iPhone yang selalu laris manis setiap kali dirilis.

Belum lama ini diberitakan, Apple telah menjalin aliansi strategis dengan Twitter dimana Apple akan mengintegrasikan aplikasi Twitter ke dalam iOS versi terbaru yang akan dirilis musim gugur tahun ini.

Berseberangan dengan Facebook yang dari jejaring sosial mencoba memasuki wilayah mobile, langkah Apple mengintegrasikan Twitter ke dalam iOS menunjukkan bahwa Apple telah menjadikan jejaring sosial sebagai wilayah strategis yang juga harus diduduki.

Dari arah yang berbeda, tanpa akuisisi dan aliansi strategis, Google juga telah memasuki wilayah pertarungan sosial dan mobile. Dengan terlebih dahulu meluncurkan Android sebagai platform mobile device dan juga Google+ sebagai jejaring sosialnya.

Aksi-aksi yang dilakukan oleh tiga raksasa teknologi ini, yang juga merupakan raksasa cloud computing, menunjukkan bahwa konvergensi teknologi jejaring sosial dan mobile yang 
didukung oleh infrastruktur cloud merupakan keniscayaan yang sepertinya akan menjadi standar baru dalam layanan berbasis TI.

Konvergensi ini mulai sering disebut dengan jargon "Social-Mobile-Cloud" atau disingkat "SoMoClo" yang mulai dipopulerkan oleh perusahaan riset IT, Aberdeen Group beberapa waktu lalu.

Apa itu SoMoClo?

Secara sederhana SoMoClo merupakan layanan yang memanfaatkan seluruh kapasitas dari 3 teknologi, yaitu:


1.    Teknologi mobile, yang dirancang untuk membawa aplikasi, konten dan data langsung kepada pengguna kapanpun dan di manapun.
2.    Jejaring sosial, yang memungkinkan para pengguna bekerja bersama-sama dan berkolaborasi secara lebih efektif.
3.    Ekosistem cloud, yang menjadikan user tidak terikat pada lokasi tertentu untuk mengakses aplikasi, konten dan data yang mereka perlukan.

Jenis-jenis aplikasi yang diperkirakan akan dengan maksimal memanfaatkan model SoMoClo ini, di antaranya:


•    Aplikasi pelatihan dan pendidikan mobile, yang menyimpan data di cloud dan memungkinkan dilakukan pembelajaran secara kolaboratif
•    Aplikasi kesehatan yang menyambungkan perangkat monitoring pasien ke smartphone dan memberikan update data via cloud yang dapat diakses oleh penyedia layanan kesehatan.
•    Aplikasi 'rich media' yang meletakkan konten berbentuk video dan multimedia dalam layanan cloud, yang memungkinkan pengguna untuk mengaksesnya melalui perangkat mobile dan memberikan rekomendasi melalui social media.

Hal yang perlu dicermati dari kehadiran konvergensi SoMoClo ini adalah pada pemanfaatan video dan multimedia, yang pasti membutuhkan bandwidth cukup besar.

Hal ini tentu saja menjadi tantangan tersendiri khususnya di dalam negeri, dimana layanan broadband internet, apalagi dari perangkat mobile, masih sangat terbatas.

Dan dalam kondisi dimana operator telekomunikasi masih galau dalam menghadapi serangan pemain OTT (over-the-top), maka menjadi menarik untuk mencermati langkah-langkah seperti apa yang akan diambil oleh para operator dalam menghadapi fenomena ini.

Terakhir, tentu saja peran pemerintah sebagai regulator sangat diperlukan untuk menata area yang sangat dinamis ini, agar semua pihak yang berkepentingan dapat mengambil keuntungan maksimal dari konvergensi Social-Mobile-Cloud yang kehadirannya tak mungkin dihindari lagi.


Penulis: Mochamad James Falahuddin, praktisi telematika, Board of Advisor Indonesian Cloud Forum, twitter: @mjamesf

di kutip dari inet.detik.com
Share this :

Post a Comment

 
Support : IbeImam Website
Copyright © 2013. IBE IMAM - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Powered by Ibe Imam